Sertakan Sumber :) Lindungi hak cipta penulis! coppy my link : http://rizkinuraini1.blogspot.co.id Uri Blog: 2015 Terimakasih sudah berkunjung. Jangan lupa sertakan sumbernya ya... Ayo lindungi hak cipta penulis :)

Kamu adalah FANSku ke-

Jumat, 13 November 2015

Cerita Rakyat - Mamle

Lama gak nge-blog... hehe ^^ sibuk jadi anak putih abu-abu *anak SMA maksudnya*. Basa basi dulu ... Admin mau nge-post nih cerita rakyat karya Ki *alias saya sendiri*. Adaptasi dari cerita rakyat Papua yang aku dapet dari :

sumber : https://web.facebook.com/notes/dongeng-dan-cerita-rakyat/mamle-cerita-rakyat-papua/645303215480845

Pertama-tama maaf kalo ada salah kata ataupun nama tempat, cerita rakyat ini ditulis berdasarkan ilustrasi semata. Kritik dan saran boleh ditulis di kolom komentar *sangat dibutuhkan*. Langsung aja, selamat menikmati.....
....
....
....


Mamle

 Rizki Nuraini Ramadhani

Aku berjalan menelusuri sungai kecil, hulunya yang tak jauh di tempatku berdiri di pedalaman jauh di hutan Papua. Terlihat dari kejauhan hutan hijau itu kini sudah tidak ada lagi, selain hanya tanah berwarna jingga yang tak henti-hentinya dikeruk tangan-tangan berkulit putih lewat penduduk pribumi. Di sekeliling sungai masih ada pepohonan yang jarang-jarang. Bukan jarang-jarang karena sengaja, tetapi beberapa sudah ditebang. Sayatan gergaji besar masih membekas pada batang pohon tua lumutan. Getahnya yang sempat mengalir kini sirna ditiup angin yang menyapu kerinduan pada ceritanya, Mamle.

“Bu, tidak usah Ibu bekerja sendiri,” suara anak laki-laki terdengar di balik hutan gundul tepi sungai. Ibunya hanya mengiyakan saja, lalu kembali sibuk menyiangi rumput-rumput liar di sekelilingnya.

Semak-semak belukar yang semula tidak ada, hanya tanah berwarna jingga. Kini ditumbuhi bermacam-macam rumput liar di depan mataku. Terik dan panas yang dipancarkan sinar matahari kini meredup dihalau pepohonan yang tiba-tiba tumbuh di samping kiri-kananku. Tanah jingga itu ... tidak ada lagi. Hanya ada rawa hijau lengkap dengan tumbuhan yang anyir tercium dari tempatku berdiri. Tak ada tanah jingga yang ada hanyalah tanah berhumus, lumut, dan tumbuhan paku di mana-mana.

 “Biar Mamle ikut bantu,” katanya lagi sudah berdiri mengangkat tumpukan kayu-kayu besar yang ditebanginya dengan kapak besarnya itu. 

“Mamle, bantu aku juga Nak,” pinta seorang ibu yang membawa tumpukan helai daun pisang keluar dari balik pohon pisang di samping Mamle. Daun pisang biasanya dipakai untuk alas makanan atau juga dapat dipakai untuk media membakar makanan.

            “Wah ... orang sepertiku apa juga tidak dibantu?” Sindir lelaki dewasa di sana yang tengah membelah batang-batang pohon dengan kapak yang jauh lebih besar dan tampak sangat berat.

            “Ah ... iya,” Mamle menggaruk-garuk kepalanya sebentar, merasa ada yang kurang dan sepertinya kesalahanya adalah terletak pada ingatanya yang lupa akan sesuatu.

“Tak usah, Bapak hanya bercanda,” kata lelaki itu tertawa, terhibur melihat tingkah Mamle.

“Aku anak laki-laki paman, jadi biar aku bantu,” kata Mamle tersenyum malu-malu tapi dengan tindakannya yang tidak ragu-ragu.

Anak keriting yang biasa dipanggil Mamle itu sudah tumbuh dewasa dan dikenal dengan sifatnya yang teramat baik kepada siapa saja. 

***

            Embun masih segar keluar dari hijau rumahnya, rumput-rumput pagi. Matahari pun masih di ujung Timur, belum tampak juga bulatan wajahnya, selain hanya cahaya jingga yang menyala menimbulkan bayangan anak itu, Mamle di rumput-rumput basah.

 Tanganya yang legam tak segan-segan mengayunkan kapaknya pada batang-batang pohon tua di perkebunan tak berpenghuni untuk membuka lahan. Matanya yang segar hampir tidak menampakkan kantuk yang masih membubung di pelupuk matanya. 

Bau keringat sudah tercium tak lama setelah hampir sepuluh pohon berhasil ia tumbangkan. Tak peduli lelah yang ia rasakan, karena menebang pohon adalah cara yang bisa ia lakukan untuk membantu ibu, orang lain, dan masyarakat di kampungnya, selain hal itu merupakan kegemarannya menolong sesama. 

 “Mamle, bantu Ibu, Nak.” Panggil Ibu Mamle sudah berdiri membopong ikatan kayu. Matanya mengernyit menampakkan guratan cemas tak tega melihat anaknya yang masih di pucuk pohon kelapa.

“Ya Bu,” kata Mamle masih sibuk dengan buah kelapa hijau yang menggelantung menghiasi pohon tinggi tiang langit biru di atas sana.

“Cepat Nak, Ibu sudah tidak kuat,” kata Ibu Mamle masih berdiri di bawah sana.

“Taruh saja di situ Bu, biar Mamle nanti yang bawa ke rumah.” Mamle masih di ujung pohon tak melihat wajah ibunya yang ketakutan.

“Turunlah, ibu takut melihatmu masih di sana,” kata Ibu Mamle sudah semakin gusar lalu segera meletakkan gendongan kayunya. Memperhatikan gelagat anaknya yang tak kunjung tampak lebih besar di bayangannya. Tak kunjung turuh dari sana. Masih terlihat kecil di ujung sana, di pohon kurus tapi tinggi selangit itu.

“Tak apa Bu,” katanya tersenyum tak dapat melihat Ibu Mamle di bawah sana. 

“Bagimana kalau kau jatuh.” Ibu Mamle panik. Matanya terus menjelajah mencari suatu benda untuk menurunkan anaknya itu. Tapi tak juga ia temukan benda panjang setinggi pohon kelapa tua itu.

“Aku sudah besar, aku berani turun Bu.” Kata Mamle begitu melihat Ibunya yang berlari-lari kecil mendekat ke pohon kelapa yang dinaiki Mamle. 

“Kalau Kau seperti ini, bagaimana hati Ibumu tenang Nak?” 

Bayangan Ibu Mamle dihantui dengan adegan yang selama ini ada di benaknya. Hanya katanya orang, beberapa orang jatuh dari pohon kelapa setelah memanjat sampai ke puncaknya. Mereka yang memanjat berbekal tali selebar dua kali pinggang pemanjat dan hanya mengandalkan goresan pada batang kelapa untuk tumpuan kaki. Tiada karena jatuh di ketinggian kurang lebih tiga puluh meter.

***

Mamle turun perlahan. Semilir angin dan ketenangan ia rasakan di atas sana. Rumah-rumah honai yang tampak seperti jamur bertebaran di mana-mana. Di atas sana Mamle dapat melihat bukit-bukit hijau dan hutan yang dibelah sungai biru kehijauan tampak indah. Sungguh pemandangan yang kali pertama dapat memikat hatinya.

Kulit kakinya yang sudah keras tak begitu mengenali panasnya pohon yang sudah disiangi matahari. Ia melompat begitu ketinggian dari tanah tak lebih dari 2 meter.

“Lihat, tidak papa kan Bu,” katanya menangkap wajah Ibu Mamle yang khawatir betul.

Setelah kejadian itu, Mamle masih melakoni pekerjaan yang ia sukai itu, memanjat pohon. Bahkan menjadi hobinya selain membantu warga kampungnya menebang pohon. Tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk masyarakat kampung ia mengambil buah-buah pohon. Ibu Mamle saban hari memperhatikan anak laki-lakinya itu, bahkan tak jenuh mengingatkan untuk segera turun dan Mamle juga terus menenangkan ibunya. 

***
               
           Beberapa tahun berlalu, sesuai keinginanya Mamle membangun rumah pesta tari. Rumah sederhana dari kayu-kayu pohon berwarna coklat dihiasi atap dedaunan tampak sederhana mirip seperti rumah honai, namun mampu membuat hati Mamle tenang dan bahagia seperti bagaimana perasaanya memanjat pohon kelapa untuk pertama kalinya dulu.

Rumah pesta tari itu dibuat tidak hanya untuk menampilkan tarian tetapi juga ada musik pengiring di dalamnya yaitu musik tradisional khas Papua yang dimainkan oleh penduduk kampung yang lihai dalam bermusik. Dibantu senandung yang dinyanyikan anak-anak suku pedalaman. 

Pesta itu Mamle persiapkan demi orang banyak, terutama kampung kebanggaanya. Tujuannya agar semakin dikenal dan maju peradabannya dengan saling bersosialisasi antara satu kampung dengan kampung yang lainnya. Memang, Mamle bukanlah orang yang memiliki banyak harta, hartanya saja ia kumpulkan dari hasil jerih payahnya sendiri.  

            Banyak tamu yang ia undang. Mereka mengenakan pakaian adat berumbai khas Papua dilengkapi perhiasan dari kerang dan batuan cantik berwarna-warni. Tidak hanya masyarakat kampung sekitar tetapi dari berbagai daerah bahkan hingga ke pelosok hutan. Di antara para tamu yang hadir ada dua wanita dari suku Sandrafe. Mereka adalah saudara Mamle. 

“Mamle, sudah sukses kau rupanya.” Kata teman Mamle seperjuangan dari kampung sebelah. Ia memberi ucapan selamat yang memang sering terdengar menyindir. Wajar bukan? 

“Kawanku,” kata Mamle menepuk pundaknya. “Terima kasih banyak.”

“Tapi maaf, aku tak dapat lama-lama di sini,” katanya berpamitan.

“Tak apa, suatu saat aku yang akan pergi mengunjungimu.” Katanya mengiyakan.

Tak lama setelah teman Mamle bergegas pergi dari rumah pesta, salah satu dari dua wanita itu mendatangi Mamle. Senyumnya tak kunjung luntur dari wajah cantiknya, tampak jelas bahwa ia tertarik pada Mamle yang ternyata saudaranya sendiri.

“Mamle, pestanya sungguh bagus.” Pujinya terkesan basa-basi.

“Iya, mewah,” kata wanita yang satunya. Alih-alih mendapat perhatian Mamle, tapi Mamle justru menjauh dari dua wanita yang kini mendekatinya.

“Terima kasih.” Jawab Mamle tulus menerima pujian yang walau hanya sekedar basa-basi.

Tiba-tiba seorang penjaga yang bertugas mengamankan pesta datang mendekati Mamle. Dari parasnya saja sudah dapat dikenali dan juga dari perawakannya yang besar, berotot, dan wajahnya yang garang.

Ia menjauhkan tongkat berujung pisau belati dan mengedepankan tangannya di samping wajah Mamle seraya berkata, “Mamle, tetua memanggil!” katanya berbisik.

***

Di kursi batu besar itu, seorang laki-laki paruh baya berjenggot putih yang biasa disebut ‘Tetua’ tampak prihatian melihat Mamle yang datang ke arahnya. Kerutan keriputnya terhalang oleh cat alami berwarna yang sengaja dicorengkan di wajahnya. Tongkat kayu yang ia bawa saban hari terpaksa diletakkannya demi menyambut kedatangan Mamle.

“Mamle, kau sudah tahu benar larangan upacara adat kita.” Kata Tetua yakin.

Mamle sama sekali tidak mengerti topik yang sedang dibicarakan Tetua. Ia merasa dirinya selama ini belum pernah melanggar tata cara dan adat di kampungnya.

“Apa gerangan Tetua memanggilku?”

“Di kampung kita, sudah ada kesepakatan tentang adat pernikahan, begitu pula dengan calon mempelainya,” kata Tetua sebentar beralih menatap ke arah dua wanita yang masih menunggu Mamle. Dua wanita yang berasal dari suku Sandrafe.

“Jika itu yang Tetua maksud, saya belum ada tujuan ke arah sana,” kata Mamle berusaha menghilangkan kesalahpahaman.

“Kau tidak boleh menikahi salah satu dari dua wanita itu.” Lanjut Tetua mempertegas larangannya. Takut kalau suatu saat Mamle menyukai salah satu dari dua wanita tadi.

“Saya pun tidak menaruh hati pada keduanya.” Jawab Mamle jujur. 

Beberapa pemuda dari kampung sebelah sekilas mendengar ucapan di antara Tetua dan Mamle. Mereka tak ambil pusing memikirkan apa yang sedang Mamle dan Tetua bicarakan namun yang pasti kini kelompok pemuda itu sedang menggunjingkan sesuatu.

***

Malam sudah kembali datang diterangi sinar bulan yang semakin meninggi. Tak terdengar lagi senandung nyanyian suku pedalaman. Tak ada lagi penari perang yang ikut memeriahkan suasana rumah pesta tari, karena pesta sudah usai.

Para tamu undangan kembali pulang, satu-persatu. Tetapi ada keganjilan di sana. Sudah larut, tiba-tiba saja para pemuda yang ada di pesta itu beramai-ramai mendatangi Mamle. Mereka berbondong-bondong tidak hanya dengan tangan kosong melainkan juga membawa kayu yang mungkin dibawa dari rumah-rumah penduduk setempat dan tak segan-segan melayangkan hantaman demi hantapan pada tubuh legam Mamle. mungkin hal itu tadi yang mereka rencanakan, mereka berniat  membunuh Mamle.

***

Hening ... bulan bahkan menjadi saksi keras hidupnya. Mamle mengerjap sesaat, kembali mengumpulkan tenaganya. Tubuhnya yang sudah pontang panting sejak kecil, tak kenal luka yang sedalam goresan kertas di tangannya. Mamle segera menjauh dari sana, berlari sebagiamana kakinya ia gunakan untuk memanjat. Yang ada dalam pikirannya saat ini hanyalah satu pertanyaan.


Untuk apa ia menerima pukulan itu kalau dirinya tidak bersalah?


Mamle terus berlari tak peduli jalan tanjakan dan menurun di tepi jurang. Kakinya terus berlari hingga akhirnya ia memasuki hutan. Menyibak rerumputan yang tak jarang melukainya. Entah itu hanya potongan batang atau ranting dan yang pasti bukan hewan karnivora lainnya seperti ular yang menjadikan semak belukar rumahnya.

Mamle meringis. Bukan kesakitan, mungkin hanya terkilir ringan. Karena duri kecil hanya dapat menyentuh telapak kakinya, tapi tak mempan menembus di kaki berkulit tebalnya.

Mamle akhirnya berhenti di depan pohon nira. Ia memanjat pohon nira itu dan menoreh getahnya. Kemudian Mamle mengambil air nira yang mengalir dari pohon tersebut hingga bambu tempat menyimpan nira menjadi penuh. Begitu seterusnya hingga ia juga mengambil bambu lain dan memasukkan nira ke dalamnya. Setelah semua bambu penuh Mamle dengan tenang menunggu pemuda-pemuda itu di dalam hutan.

***

Nafasnya masih terengah-engah setelah hilir mudik memanjat ke pohon. Memang sudah hobinya tetapi di malam seperti ini tubuhnya tetap saja tubuh manusia normal yang kenal lelah. Yang paling mengesankan adalah tak ada kata takut sekalipun pernah terpikir di kepalanya. Ia memang Mamle yang cerdas, ia yakin rencanya ini pasti berhasil.

Semak-semak belukar bergoyang, begitu juga diiringi hentakan kaki lebar-lebar mendekati Mamle.

“MAMLE!!” Teriak pemuda yang beringas mendatangi Mamle. Namun ia berlari bagaikan kakinya sudah mau patah karena terkena bisa ular.

“JANGAN LARI KAU!” Teriak pemuda lainnya ikut menyusul.

“AWAS KAU!” Kata pemuda pertama tadi masih bisa berteriak.

“APA YANG KALIAN LAKUKAN DI SINI??!” Tanya Mamle berteriak balik dari kejauhan tempatnya menunggu tadi.

Belum sampai di tempat Mamle duduk menanti kedatangan mereka, beberapa pemuda sudah mulai mendatanginya dengan berjalan.

 “Kemari, beristirahatlah dulu.” Ajak Mamle.

Mamle mengulungkan beberapa bambu berisi nira begitu wajah-wajah pemuda itu sudah tampak di bawah sinar bulan. Wajah berkeringat dan lelah yang kualahan mengejar Mamle. 

 Tanpa bertanya air apa yang ada di dalam bambu itu, mereka langsung meminumnya.

Satu tegukan ... lidah masih mati rasa.

Dua tegukan ... tak terasa tetesan airnya.

Tiga tegukan ... basah, kerongkongan sudah basah.

Empat tegukan ... rasa haus belum juga hilang.

Hingga tegukan terakhir.

Semua pasang mata di depan Mamle berubah jadi datar. Mata membunuh itu lenyap secara perlahan. Kelopak mata mereka perlahan mulai menutup. Air nira yang mengandung alkohol hasil fermentasi itu membuat mereka menjadi mabuk.

Mereka berdiri loyo, tak memperhatikan kerikil dan batuan besar di depannya dan beberapa sudah jatuh terduduk di sana tanpa sadar apa yang sudah terjadi. Mamle pun akhirnya pergi dari sana tanpa ada bahaya yang menyergapnya seperti tadi. Mereka semua tak sadarkan diri.

Langkah kakinya yang semakin menjauh tak memberi bekas pijakan kaki pada tanah berhubus dan berembun di depanku. Bayangannya yang terus melesat jauh dan menghilang diiringi cahaya bulan yang semakin terang dan silau. Matahari sudah di atas kepalaku. Begitulah akhir kisahnya. Pohon nira itu atau pohon nira ini masih hidup mengenang Mamle yang pantang menyerah. Kecerdikannya terukir dan terus tumbuh seiring berjalannya waktu dan pohon kelapa yang terus menjulang tinggi, menunggu Mamle kembali.

 
Lindungi hak cipta penulis! http://rizkinuraini1.blogspot.co.id