sumber : https://web.facebook.com/notes/dongeng-dan-cerita-rakyat/mamle-cerita-rakyat-papua/645303215480845
Pertama-tama maaf kalo ada salah kata ataupun nama tempat, cerita rakyat ini ditulis berdasarkan ilustrasi semata. Kritik dan saran boleh ditulis di kolom komentar *sangat dibutuhkan*. Langsung aja, selamat menikmati.....
....
....
....
Mamle
Rizki Nuraini Ramadhani
Aku berjalan menelusuri
sungai kecil, hulunya yang tak jauh di tempatku berdiri di pedalaman jauh di
hutan Papua. Terlihat dari kejauhan hutan hijau itu kini sudah tidak ada lagi,
selain hanya tanah berwarna jingga yang tak henti-hentinya dikeruk
tangan-tangan berkulit putih lewat penduduk pribumi. Di sekeliling sungai masih
ada pepohonan yang jarang-jarang. Bukan jarang-jarang karena sengaja, tetapi
beberapa sudah ditebang. Sayatan gergaji besar masih membekas pada batang pohon
tua lumutan. Getahnya yang sempat mengalir kini sirna ditiup angin yang menyapu
kerinduan pada ceritanya, Mamle.
“Bu, tidak usah Ibu
bekerja sendiri,” suara anak laki-laki terdengar di balik hutan gundul tepi
sungai. Ibunya hanya mengiyakan
saja, lalu kembali sibuk menyiangi rumput-rumput liar di sekelilingnya.
Semak-semak belukar yang
semula tidak ada, hanya tanah berwarna jingga. Kini ditumbuhi bermacam-macam
rumput liar di depan mataku. Terik dan panas yang dipancarkan sinar matahari
kini meredup dihalau pepohonan yang tiba-tiba tumbuh di samping kiri-kananku.
Tanah jingga itu ... tidak ada lagi. Hanya ada rawa hijau lengkap dengan tumbuhan
yang anyir tercium dari tempatku berdiri. Tak ada tanah jingga yang ada
hanyalah tanah berhumus, lumut, dan tumbuhan paku di mana-mana.
“Biar Mamle ikut bantu,” katanya lagi sudah berdiri
mengangkat tumpukan kayu-kayu besar yang ditebanginya dengan kapak besarnya
itu.
“Mamle, bantu aku juga
Nak,” pinta seorang ibu yang membawa tumpukan helai daun pisang keluar dari
balik pohon pisang di samping Mamle. Daun pisang biasanya dipakai untuk alas
makanan atau juga dapat dipakai untuk media membakar makanan.
“Wah
... orang sepertiku apa juga tidak dibantu?” Sindir lelaki dewasa di sana yang
tengah membelah batang-batang pohon dengan kapak yang jauh lebih besar dan
tampak sangat berat.
“Ah
... iya,” Mamle menggaruk-garuk kepalanya sebentar, merasa ada yang kurang dan
sepertinya kesalahanya adalah terletak pada ingatanya yang lupa akan sesuatu.
“Tak usah, Bapak hanya
bercanda,” kata lelaki itu tertawa, terhibur melihat tingkah Mamle.
“Aku anak laki-laki paman,
jadi biar aku bantu,” kata Mamle tersenyum malu-malu tapi dengan tindakannya
yang tidak ragu-ragu.
Anak keriting yang biasa
dipanggil Mamle itu sudah tumbuh dewasa dan dikenal dengan sifatnya yang teramat
baik kepada siapa saja.
***
Embun
masih segar keluar dari hijau rumahnya, rumput-rumput pagi. Matahari pun masih
di ujung Timur, belum tampak juga bulatan wajahnya, selain hanya cahaya jingga
yang menyala menimbulkan bayangan anak itu, Mamle di rumput-rumput basah.
Tanganya yang legam tak segan-segan
mengayunkan kapaknya pada batang-batang pohon tua di perkebunan tak berpenghuni
untuk membuka lahan. Matanya yang segar hampir tidak menampakkan kantuk yang
masih membubung di pelupuk matanya.
Bau keringat sudah tercium
tak lama setelah hampir sepuluh pohon berhasil ia tumbangkan. Tak peduli lelah
yang ia rasakan, karena menebang pohon adalah cara yang bisa ia lakukan untuk
membantu ibu, orang lain, dan masyarakat di kampungnya, selain hal itu
merupakan kegemarannya menolong sesama.
“Mamle, bantu Ibu, Nak.” Panggil Ibu Mamle
sudah berdiri membopong ikatan kayu. Matanya mengernyit menampakkan guratan
cemas tak tega melihat anaknya yang masih di pucuk pohon kelapa.
“Ya Bu,” kata Mamle masih
sibuk dengan buah kelapa hijau yang menggelantung menghiasi pohon tinggi tiang
langit biru di atas sana.
“Cepat Nak, Ibu sudah
tidak kuat,” kata Ibu Mamle masih berdiri di bawah sana.
“Taruh saja di situ Bu,
biar Mamle nanti yang bawa ke rumah.” Mamle masih di ujung pohon tak
melihat wajah ibunya yang ketakutan.
“Turunlah, ibu takut
melihatmu masih di sana,” kata Ibu Mamle sudah semakin gusar lalu segera
meletakkan gendongan kayunya. Memperhatikan gelagat anaknya yang tak kunjung
tampak lebih besar di bayangannya. Tak kunjung turuh dari sana. Masih terlihat
kecil di ujung sana, di pohon kurus tapi tinggi selangit itu.
“Tak apa Bu,” katanya
tersenyum tak dapat melihat Ibu Mamle di bawah sana.
“Bagimana kalau kau jatuh.”
Ibu Mamle panik. Matanya terus menjelajah mencari suatu benda untuk menurunkan
anaknya itu. Tapi tak juga ia temukan benda panjang setinggi pohon kelapa tua
itu.
“Aku sudah besar, aku
berani turun Bu.” Kata Mamle begitu melihat Ibunya yang berlari-lari kecil
mendekat ke pohon kelapa yang dinaiki Mamle.
“Kalau Kau seperti ini,
bagaimana hati Ibumu tenang Nak?”
Bayangan Ibu Mamle
dihantui dengan adegan yang selama ini ada di benaknya. Hanya katanya
orang,
beberapa orang jatuh dari pohon kelapa setelah memanjat sampai ke puncaknya.
Mereka yang memanjat berbekal tali selebar dua kali pinggang pemanjat dan hanya
mengandalkan goresan pada batang kelapa untuk tumpuan kaki. Tiada karena jatuh
di ketinggian kurang lebih tiga puluh meter.
***
Mamle turun perlahan. Semilir
angin dan ketenangan ia rasakan di atas sana. Rumah-rumah honai yang tampak
seperti jamur bertebaran di mana-mana. Di atas sana Mamle dapat melihat
bukit-bukit hijau dan hutan yang dibelah sungai biru kehijauan tampak indah.
Sungguh pemandangan yang kali pertama dapat memikat hatinya.
Kulit kakinya yang sudah
keras tak begitu mengenali panasnya pohon yang sudah disiangi matahari. Ia
melompat begitu ketinggian dari tanah tak lebih dari 2 meter.
“Lihat, tidak papa kan Bu,”
katanya menangkap wajah Ibu Mamle yang khawatir betul.
Setelah kejadian itu, Mamle
masih melakoni pekerjaan yang ia sukai itu, memanjat pohon. Bahkan menjadi
hobinya selain membantu warga kampungnya menebang pohon. Tidak hanya untuk
dirinya, tetapi juga untuk masyarakat kampung ia mengambil buah-buah pohon. Ibu
Mamle saban hari memperhatikan anak laki-lakinya itu, bahkan tak jenuh
mengingatkan untuk segera turun dan Mamle juga terus menenangkan ibunya.
***
Beberapa tahun berlalu,
sesuai keinginanya Mamle membangun rumah
pesta tari. Rumah sederhana dari kayu-kayu pohon berwarna coklat dihiasi atap
dedaunan tampak sederhana mirip seperti rumah honai, namun mampu membuat hati
Mamle tenang dan bahagia seperti bagaimana perasaanya memanjat pohon kelapa
untuk pertama kalinya dulu.
Rumah pesta tari itu dibuat tidak hanya untuk
menampilkan tarian tetapi juga ada musik pengiring di dalamnya yaitu musik tradisional
khas Papua yang dimainkan oleh penduduk kampung yang lihai dalam bermusik. Dibantu
senandung yang dinyanyikan anak-anak suku pedalaman.
Pesta itu Mamle persiapkan demi orang
banyak, terutama kampung kebanggaanya. Tujuannya agar semakin dikenal dan maju
peradabannya dengan saling bersosialisasi antara satu kampung dengan kampung
yang lainnya. Memang, Mamle bukanlah orang yang memiliki banyak harta, hartanya
saja ia kumpulkan dari hasil jerih payahnya sendiri.
Banyak tamu yang ia undang. Mereka
mengenakan pakaian adat berumbai khas Papua dilengkapi perhiasan dari kerang dan batuan
cantik berwarna-warni. Tidak hanya masyarakat kampung sekitar tetapi dari
berbagai daerah bahkan hingga ke pelosok hutan. Di antara para tamu yang hadir ada
dua wanita dari suku Sandrafe. Mereka adalah saudara Mamle.
“Mamle, sudah sukses kau rupanya.” Kata
teman Mamle seperjuangan dari kampung sebelah. Ia memberi ucapan selamat yang
memang sering terdengar menyindir. Wajar bukan?
“Kawanku,” kata Mamle menepuk pundaknya.
“Terima kasih banyak.”
“Tapi maaf, aku tak dapat lama-lama di
sini,” katanya berpamitan.
“Tak apa, suatu saat aku yang akan pergi
mengunjungimu.” Katanya mengiyakan.
Tak lama setelah teman Mamle bergegas
pergi dari rumah pesta, salah satu dari dua wanita itu mendatangi Mamle.
Senyumnya tak kunjung luntur dari wajah cantiknya, tampak jelas bahwa ia
tertarik pada Mamle yang ternyata saudaranya sendiri.
“Mamle, pestanya sungguh bagus.” Pujinya
terkesan basa-basi.
“Iya, mewah,” kata wanita yang satunya.
Alih-alih mendapat perhatian Mamle, tapi Mamle justru menjauh dari dua wanita
yang kini mendekatinya.
“Terima kasih.” Jawab Mamle tulus
menerima pujian yang walau hanya sekedar basa-basi.
Tiba-tiba
seorang penjaga yang bertugas mengamankan pesta datang mendekati Mamle. Dari
parasnya saja sudah dapat dikenali dan juga dari perawakannya yang besar,
berotot, dan wajahnya yang garang.
Ia
menjauhkan tongkat berujung pisau belati dan mengedepankan tangannya di samping
wajah Mamle seraya berkata, “Mamle, tetua memanggil!” katanya berbisik.
***
Di
kursi batu besar itu, seorang laki-laki paruh baya berjenggot putih yang biasa
disebut ‘Tetua’ tampak prihatian melihat Mamle yang datang ke arahnya. Kerutan
keriputnya terhalang oleh cat alami berwarna yang sengaja dicorengkan di
wajahnya. Tongkat kayu yang ia bawa saban hari terpaksa diletakkannya demi
menyambut kedatangan Mamle.
“Mamle,
kau sudah tahu benar larangan upacara adat kita.” Kata Tetua yakin.
Mamle
sama sekali tidak mengerti topik yang sedang dibicarakan Tetua. Ia merasa
dirinya selama ini belum pernah melanggar tata cara dan adat di kampungnya.
“Apa
gerangan Tetua memanggilku?”
“Di
kampung kita, sudah ada kesepakatan tentang adat pernikahan, begitu pula dengan
calon mempelainya,” kata Tetua sebentar beralih menatap ke arah dua wanita yang
masih menunggu Mamle. Dua wanita yang berasal dari suku Sandrafe.
“Jika
itu yang Tetua maksud, saya belum ada tujuan ke arah sana,” kata Mamle berusaha
menghilangkan kesalahpahaman.
“Kau
tidak boleh menikahi salah satu dari dua wanita itu.” Lanjut Tetua mempertegas
larangannya. Takut kalau suatu saat Mamle menyukai salah satu dari dua wanita
tadi.
“Saya
pun tidak menaruh hati pada keduanya.” Jawab Mamle jujur.
Beberapa
pemuda dari kampung sebelah sekilas mendengar ucapan di antara Tetua dan Mamle.
Mereka tak ambil pusing memikirkan apa yang sedang Mamle dan Tetua bicarakan
namun yang pasti kini kelompok pemuda itu sedang menggunjingkan sesuatu.
***
Malam sudah
kembali datang diterangi sinar bulan yang semakin meninggi. Tak terdengar lagi
senandung nyanyian suku pedalaman. Tak ada lagi penari perang yang ikut
memeriahkan suasana rumah pesta tari, karena pesta sudah usai.
Para tamu
undangan kembali pulang, satu-persatu. Tetapi ada keganjilan di sana. Sudah
larut, tiba-tiba saja para pemuda yang ada di pesta itu beramai-ramai mendatangi
Mamle. Mereka berbondong-bondong tidak hanya dengan tangan kosong melainkan
juga membawa kayu yang mungkin dibawa dari rumah-rumah penduduk setempat dan tak
segan-segan melayangkan hantaman demi hantapan pada tubuh legam Mamle. mungkin
hal itu tadi yang mereka rencanakan, mereka berniat membunuh Mamle.
***
Hening ...
bulan bahkan menjadi saksi keras hidupnya. Mamle mengerjap sesaat, kembali
mengumpulkan tenaganya. Tubuhnya yang sudah pontang panting sejak kecil, tak
kenal luka yang sedalam goresan kertas di tangannya. Mamle segera menjauh dari
sana, berlari sebagiamana kakinya ia gunakan untuk memanjat. Yang ada dalam
pikirannya saat ini hanyalah satu pertanyaan.
Untuk apa ia menerima pukulan itu kalau
dirinya tidak bersalah?
Mamle terus
berlari tak peduli jalan tanjakan dan menurun di tepi jurang. Kakinya terus
berlari hingga akhirnya ia memasuki hutan. Menyibak rerumputan yang tak jarang
melukainya. Entah itu hanya potongan batang atau ranting dan yang pasti bukan
hewan karnivora lainnya seperti ular yang menjadikan semak belukar rumahnya.
Mamle
meringis. Bukan kesakitan, mungkin hanya terkilir ringan. Karena duri kecil
hanya dapat menyentuh telapak kakinya, tapi tak mempan menembus di kaki
berkulit tebalnya.
Mamle akhirnya
berhenti di depan pohon nira. Ia memanjat pohon nira itu dan menoreh getahnya.
Kemudian Mamle mengambil air nira yang mengalir dari pohon tersebut hingga
bambu tempat menyimpan nira menjadi penuh. Begitu seterusnya hingga ia juga
mengambil bambu lain dan memasukkan nira ke dalamnya. Setelah semua bambu penuh
Mamle dengan tenang menunggu pemuda-pemuda itu di dalam hutan.
***
Nafasnya
masih terengah-engah setelah hilir mudik memanjat ke pohon. Memang sudah
hobinya tetapi di malam seperti ini tubuhnya tetap saja tubuh manusia normal yang
kenal lelah. Yang paling mengesankan adalah tak ada kata takut sekalipun pernah
terpikir di kepalanya. Ia memang Mamle yang cerdas, ia yakin rencanya ini pasti
berhasil.
Semak-semak
belukar bergoyang, begitu juga diiringi hentakan kaki lebar-lebar mendekati
Mamle.
“MAMLE!!” Teriak pemuda yang beringas mendatangi Mamle. Namun ia berlari bagaikan kakinya
sudah mau patah karena terkena bisa ular.
“JANGAN LARI
KAU!” Teriak pemuda lainnya ikut menyusul.
“AWAS KAU!” Kata pemuda pertama tadi masih bisa berteriak.
“APA YANG
KALIAN LAKUKAN DI SINI??!” Tanya Mamle berteriak balik dari kejauhan tempatnya
menunggu tadi.
Belum sampai
di tempat Mamle duduk menanti kedatangan mereka, beberapa pemuda sudah mulai mendatanginya
dengan berjalan.
“Kemari, beristirahatlah dulu.” Ajak Mamle.
Mamle mengulungkan
beberapa bambu berisi nira begitu wajah-wajah pemuda itu sudah tampak di bawah
sinar bulan. Wajah berkeringat dan lelah yang kualahan mengejar Mamle.
Tanpa bertanya
air apa yang ada di dalam bambu itu, mereka langsung meminumnya.
Satu tegukan
... lidah masih mati rasa.
Dua tegukan
... tak terasa tetesan airnya.
Tiga tegukan
... basah, kerongkongan sudah basah.
Empat tegukan
... rasa haus belum juga hilang.
Hingga
tegukan terakhir.
Semua pasang
mata di depan Mamle berubah jadi datar. Mata membunuh itu lenyap secara
perlahan. Kelopak mata mereka perlahan mulai menutup. Air nira yang mengandung
alkohol hasil fermentasi itu membuat mereka menjadi mabuk.
Mereka
berdiri loyo, tak memperhatikan kerikil dan batuan besar di depannya dan
beberapa sudah jatuh terduduk di sana tanpa sadar apa yang sudah terjadi. Mamle
pun akhirnya pergi dari sana tanpa ada bahaya yang menyergapnya seperti tadi.
Mereka semua tak sadarkan diri.
Langkah
kakinya yang semakin menjauh tak memberi bekas pijakan kaki pada tanah berhubus
dan berembun di depanku. Bayangannya yang terus melesat jauh dan menghilang diiringi
cahaya bulan yang semakin terang dan silau. Matahari sudah di atas kepalaku.
Begitulah akhir kisahnya. Pohon nira itu atau pohon nira ini masih hidup
mengenang Mamle yang pantang menyerah. Kecerdikannya terukir dan terus tumbuh
seiring berjalannya waktu dan pohon kelapa yang terus menjulang tinggi,
menunggu Mamle kembali.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar