Sertakan Sumber :) Lindungi hak cipta penulis! coppy my link : http://rizkinuraini1.blogspot.co.id Uri Blog: 6 Bel di Rumah Tua - cerpen horror Terimakasih sudah berkunjung. Jangan lupa sertakan sumbernya ya... Ayo lindungi hak cipta penulis :)

Kamu adalah FANSku ke-

Selasa, 12 Januari 2016

6 Bel di Rumah Tua - cerpen horror


balik lagi sama hobby yg ga bikin lumutan... cerpen.... :v
semoga ada pembaca setia yang ga bosen ya... makasi semuanya...
 genre kali ini agak beda, sebenrnya *sstttt diem aja ya.. secret* diambil dari kisah nyata, horror !!! percaya atau engga... silakan dibaca :v 
jangan lupa kalau mau copy paste sertakan sumber, okkeee??!!! setuju!!!


6 Bel di Rumah Tua

by Ki

Aku masih duduk di dalam kamar. Mengunci pintu sembari menunggu kakakku pulang. Karena kalau aku sudah mengunci pintu, aku merasa malas membukanya, memutar kunci, dan menarik tuas tua itu dengan kencang. Tapi rasa penasaranku tak mati begitu saja. 

Kata temanku rumah yang sekarang aku tempati ini angker. Konon katanya, dulu penghuni rumah ini adalah seorang laki-laki tua yang tak mampu berjalan karena sroke, untuk itulah rumah ini didesain dengan memiliki 4 bel di dalamnya dan 2 bel lainnya ada di teras depan dan di belakang rumah. Kegunaan 6 bel itu untuk memanggil anggota keluarganya agar membantunya berjalan. 

Sebenarnya aku bukanlah anak pemberani, tapi demi memuaskan rasa penasaranku, hari ini aku dan kakakku sepakat mencari tahu penyebab mengapa 6 bel di rumah ini berbunyi sendiri. Karena sebenarnya aku masih meragukan pendapat teman-teman sekolahku kalau rumah yang aku tinggali saat ini adalah rumah berhantu.

“Zel?” suara kakakku terdengar dari luar pintu kamar dilanjutkan dengan ketukan pintu. “Dikunci segala, kenapa? Takut?” katanya mengejekku yang serius menunggu bel berbunyi. Aku sungguh ingin mendengar suara bel itu dengan telingaku sendiri.

“Takut? penakut juga berani ke loteng gelap?” kataku menyindir kakakku yang ogah-ogahan membersihkan loteng.

“Aku juga berani ke loteng, cuma aku males aja” jawabnya dengan kalemnya. 

***

Kami berjalan, menaiki anak tangga satu-persatu. Kakakku berjalan dengan santainya, sedang aku? Aku berjalan masih dengan mata tajam dan was-was bila tiba-tiba salah satu bel di rumah ini akan berbunyi.

Ting-Tong 

...........
Ting-Tong

...........
Apa kubilang! Satu bel sudah terdengar, padahal matahari masih di atas kepala. Siapa? Dari mana arah bel itu? Batinku masih menatap kedua mata kakakku yang sama kagetnya denganku. 

“Pintu depan!” kata kami hampir berbarengan. Kami bergegas menuju teras, hendak membuka pintu. Tapi, tak ada siapa-siapa. Sungguh.

Kakakku tiba-tiba tertawa, “Ini horor?” katanya sambil melepas kertas bertuliskan “dalam perbaikan.”

Tak lama. Hanya beberapa detik setelah kakakku melepasnya, bunyi bel kembali terdengar, dari arah dapur!

Bulu kudukku masih berdiri. Aku perlahan mendatangi dapur layaknya film horor yang sudah kutonton berjutaan kali. Aku mengendap-endap, demi ingin tahu siapa yang membunyikannya. Memang waktu awal aku masuk ke rumah ini, sempat aku mendengar bunyi yang samar dari dapur dan kurasa bunyi itu adalah bel dapur.

“Cicak!” kakakku setengah berteriak. Didapatinya seekor cicak berlari melewati kakinya karena Muci, kucing kami. Muci tengah asik mengejarnya dari tembok dan tak sengaja memencet bel itu berulang kali.

***
Tak secepat tadi, kini suara bel itu tak terdengar lagi. Tak seperti yang diceritakan temanku. Katanya jika di rumah hanya tersisa satu orang, maka ia dapat mendengar keanehan yang nyata, bahwa 6 bel di rumah dapat berbunyi sekaligus. Aku melirik jam di kamar kakakku, sudah pukul 1 siang dan untuk itulah kenapa kakakku sekarang tertidur, karena sekarang sudah jam tidur siangnya.

Aku kembali menaiki anak tangga menuju loteng. Buku paket Matematika yang tinggal di sana. Jantungku berdetak, bulu kudukku kembali berdiri, disusul keringat dingin yang mengucur di badanku yang bau keringat, karena lari tunggang langgang mencari minum keluar-masuk kamar mandi karena kakakku sudah tidur tadi. Entah kenapa, hari ini aku merasa sangat ketakutan, dan berharap kakakku segera bangun jadi aku tak mungkin setakut ini.

Aku melihatnya! Buku paket matematikaku benar ada di sana! Aku segera mengambilnya. Mengambilnya di antara tumpukan bola-bola yang sudah susah payah aku bereskan. Bola itu seketika bertebaran.

Aiya...iya...aiya..iya—

Suara musik? Inikah suara bel di loteng?

Aku langsung memutar kepalaku cepat, mencari tombol bel yang masih diam tak tersentuh apapun di ujung sana tapi suaranya masih terdengar. Aku kembali fokus mengikuti ke mana arah suara itu datang. Tumpukan koran bekas?

Aku bergegas menuju pojok di mana sudah ada timbunan koran, buku, dan kertas bekas lainnya berkumpul. Perlahan dan dengan hati-hati kuambil kertas itu satu-persatu. Tak ada? Tanyaku pada diri sendiri. Tak hanya diam, lama mataku segera terus menjelajah ruang pengap itu. Mencari di bawah tumpukan koran, benar! di bawah meja!

“Sebuah mobil mainan!” Pekikku girang berhasil menemukan bunyi yang timbul karena gelindingan bola tadi.

Aku turun dari tangga dengan rasa senang dan hati lega. Tapi, bulu kudukku masih berdiri, suasana dingin masih terasa. Juga, lorong di bawah sana terlihat gelap, bahkan aku tak melihat pintu kamar kakakku yang sedikit terbuka.

Ding... 

Dong... 

Ding... 

Dong...

Sekujur tubuhku mendadak merinding. Suara yang berbeda dengan bel dapur itu terdengar. Kalau tidak salah itu adalah bel dekat kamar mandi, tapi aku juga mendengar ketukan pisau dapur. Bukan kakakku. Mendekat, bayangan hitamnya semakin terlihat jelas, begitu juga dengan bajunya. Sekarang, tampak jelas bayangan yang terpantul dari cermin dapur, itu adalah ibuku.

“Angkat hape ibu, Zel” kata ibuku yang ternyata sudah pulang dan masak di dapur. Suara itu ternyata adalah bunyi nada panggilan dari ponsel ibuku.

“Aku pikir itu bunyi bel di dekat kamar mandi, Bu” kataku langsung memeluk pinggang ibuku. Jantungku berdetak seperti mau copot. Sungguh, ini benar-benar horor tanpa hantunya.

***

Pukul 3 sore. Mataku sudah terkantuk-kantuk tak berdaya melihat baris huruf dan angka dalam bukuku. Sore saja tidak kuat belajar apalagi malam. Jadi memang benar, aku suka belajar saat sore, bukan malam atau pagi karena tak bisa membuka kelopak mata.

Tettt....

Tett... 

Tet... 

Tetttt-tettttt.....

Suara bel terdengar panjang lalu semakin cepat. Begitu juga dengan mataku yang terbuka lebar menyadari itu adalah bel belakang rumah!

Aku bergegas, berjalan mendekat dekat pintu. Lambat, bunyi bel sudah tak terdengar, kini yang kudengar adalah suara tawa beberapa anak kecil. Siapa? Sekelompok anak kecil yang berusaha menakut-nakuti anak pindahan sepertiku.

Kubuka pintu itu cepat, “Hey” kataku sudah berdiri di ambang pintu. Mereka langsung berlari tunggang-langgang dengan tawa nyaring yang masih bisa kudengar dari kejauhan.

Kututup pintu itu cepat, sebelum kakakku bergegas bangun dan mendatangiku dengan gelak tawanya karena berkhayal tentang hantu lagi sejak siang bolong.

Bippp... 

Bippp... 

Bippp...

Suara bel kembali terdengar. Untuk kali pertamanya, aku merasa tidak takut. Aku yakin bel itu berasal dari ruang tamu di dalam sana, satu-satunya bel yang belum terdengar, bel ke-6.
Aku melihat bel itu, tak berbunyi sebagaimana tadi belnya memanggilku kemari. Aku yakin itu karena korsleting atau mungkin kerjaan kakakku.
Aku kembali melirik kamar kakakku yang terbuka lebar, ia masih tidur di sana. Benar, tak salah lagi ini pasti korsleting. Aku hendak masuk ke kamar kakakku, tapi suara aneh di belakangku mulai terdengar.

“DORRRrrr!!!” Teriak kakakku mengagetkan.

“Kaaaakkk....!” Aku menggelitiki kakakku. Lalu kembali ingat dengan kamar kakakku yang terbuka. Kamarnya yang dihuni sosok perempuan yang tidur terlentang.

“Ribut melulu, ganggu ibu tidur aja” kata ibuku sudah berdiri di ambang pintu kamar kakakku. “Belnya sengaja ditulisin biar gak dipencet, eh malah anak sendiri yang ribut” sambung ibuku kembali membuatku termenung diam, lama.

“Ditulisin apa Bu?” tanya kakakku duluan.

“Dalam perbaikan, biar anak tetangga enggak usil mencet... tuh” tunjuk ibuku. “Di teras sana” kata ibuku sambil lalu, kemudian ibu masuk ke kamarnya sendiri.

“Zel, yang ibu maksud itu kertas yang aku sobek bukan?” kata kakakku memegangi lehernya, merasakan hal yang sama sepertiku. Bulu kuduk kami berdiri, sekujur tubuh kami tiba-tiba terasa dingin, sunyi, dan lagi.

Ting-tong 

.......
Ting-tong

.......

Ting-tong
 

“Zel, ada yang datang” kata kakakku menunjuk jendela kaca besar. Ia berbicara seolah-olah ia melihat sesuatu di sana.

“Belnya bunyi” kataku tak dihiraukannya, dan memang tak ada siapa-siapa di luar sana.


“Bunyi? Dia masih berdiri di sana, Zel” 

 by @rnrramadhani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar