balik lagi sama hobby yg ga bikin lumutan... cerpen.... :v
semoga ada pembaca setia yang ga bosen ya... makasi semuanya...
genre kali ini agak beda, sebenrnya *sstttt diem aja ya.. secret* diambil dari kisah nyata, horror !!! percaya atau engga... silakan dibaca :v
jangan lupa kalau mau copy paste sertakan sumber, okkeee??!!! setuju!!!
6 Bel di
Rumah Tua
by Ki
Aku masih
duduk di dalam kamar. Mengunci pintu sembari menunggu kakakku pulang. Karena
kalau aku sudah mengunci pintu, aku merasa malas membukanya, memutar kunci, dan
menarik tuas tua itu dengan kencang. Tapi rasa penasaranku tak mati begitu
saja.
Kata
temanku rumah yang sekarang aku tempati ini angker. Konon katanya, dulu penghuni
rumah ini adalah seorang laki-laki tua yang tak mampu berjalan karena sroke,
untuk itulah rumah ini didesain dengan memiliki 4 bel di dalamnya dan 2 bel
lainnya ada di teras depan dan di belakang rumah. Kegunaan 6 bel itu untuk
memanggil anggota keluarganya agar membantunya berjalan.
Sebenarnya
aku bukanlah anak pemberani, tapi demi memuaskan rasa penasaranku, hari ini aku
dan kakakku sepakat mencari tahu penyebab mengapa 6 bel di rumah ini berbunyi
sendiri. Karena sebenarnya aku masih meragukan pendapat teman-teman sekolahku
kalau rumah yang aku tinggali saat ini adalah rumah berhantu.
“Zel?”
suara kakakku terdengar dari luar pintu kamar dilanjutkan dengan ketukan pintu.
“Dikunci segala, kenapa? Takut?” katanya mengejekku yang serius menunggu bel
berbunyi. Aku sungguh ingin mendengar suara bel itu dengan telingaku sendiri.
“Takut? penakut
juga berani ke loteng gelap?” kataku menyindir kakakku yang ogah-ogahan
membersihkan loteng.
“Aku juga
berani ke loteng, cuma aku males aja” jawabnya dengan kalemnya.
***
Kami
berjalan, menaiki anak tangga satu-persatu. Kakakku berjalan dengan santainya,
sedang aku? Aku berjalan masih dengan mata tajam dan was-was bila tiba-tiba
salah satu bel di rumah ini akan berbunyi.
Ting-Tong
...........
Ting-Tong
...........
Apa
kubilang! Satu bel sudah terdengar, padahal matahari masih di atas kepala.
Siapa? Dari mana arah bel itu? Batinku masih menatap kedua mata kakakku yang
sama kagetnya denganku.
“Pintu
depan!” kata kami hampir berbarengan. Kami bergegas menuju teras, hendak
membuka pintu. Tapi, tak ada siapa-siapa. Sungguh.
Kakakku
tiba-tiba tertawa, “Ini horor?” katanya sambil melepas kertas bertuliskan “dalam
perbaikan.”
Tak lama. Hanya
beberapa detik setelah kakakku melepasnya, bunyi bel kembali terdengar, dari
arah dapur!
Bulu
kudukku masih berdiri. Aku perlahan mendatangi dapur layaknya film horor yang
sudah kutonton berjutaan kali. Aku mengendap-endap, demi ingin tahu siapa yang
membunyikannya. Memang waktu awal aku masuk ke rumah ini, sempat aku mendengar
bunyi yang samar dari dapur dan kurasa bunyi itu adalah bel dapur.
“Cicak!”
kakakku setengah berteriak. Didapatinya seekor cicak berlari melewati kakinya
karena Muci, kucing kami. Muci tengah asik mengejarnya dari tembok dan tak
sengaja memencet bel itu berulang kali.
***
Tak secepat
tadi, kini suara bel itu tak terdengar lagi. Tak seperti yang diceritakan
temanku. Katanya jika di rumah hanya tersisa satu orang, maka ia dapat
mendengar keanehan yang nyata, bahwa 6 bel di rumah dapat berbunyi sekaligus.
Aku melirik jam di kamar kakakku, sudah pukul 1 siang dan untuk itulah kenapa
kakakku sekarang tertidur, karena sekarang sudah jam tidur siangnya.
Aku kembali
menaiki anak tangga menuju loteng. Buku paket Matematika yang tinggal di sana.
Jantungku berdetak, bulu kudukku kembali berdiri, disusul keringat dingin yang
mengucur di badanku yang bau keringat, karena lari tunggang langgang mencari
minum keluar-masuk kamar mandi karena kakakku sudah tidur tadi. Entah kenapa,
hari ini aku merasa sangat ketakutan, dan berharap kakakku segera bangun jadi
aku tak mungkin setakut ini.
Aku
melihatnya! Buku paket matematikaku benar ada di sana! Aku segera mengambilnya.
Mengambilnya di antara tumpukan bola-bola yang sudah susah payah aku bereskan.
Bola itu seketika bertebaran.
Aiya...iya...aiya..iya—
Suara
musik? Inikah suara bel di loteng?
Aku
langsung memutar kepalaku cepat, mencari tombol bel yang masih diam tak
tersentuh apapun di ujung sana tapi suaranya masih terdengar. Aku kembali fokus
mengikuti ke mana arah suara itu datang. Tumpukan koran bekas?
Aku
bergegas menuju pojok di mana sudah ada timbunan koran, buku, dan kertas bekas
lainnya berkumpul. Perlahan dan dengan hati-hati kuambil kertas itu
satu-persatu. Tak ada? Tanyaku pada diri sendiri. Tak hanya diam, lama mataku
segera terus menjelajah ruang pengap itu. Mencari di bawah tumpukan koran,
benar! di bawah meja!
“Sebuah
mobil mainan!” Pekikku girang berhasil menemukan bunyi yang timbul karena
gelindingan bola tadi.
Aku turun
dari tangga dengan rasa senang dan hati lega. Tapi, bulu kudukku masih berdiri,
suasana dingin masih terasa. Juga, lorong di bawah sana terlihat gelap, bahkan
aku tak melihat pintu kamar kakakku yang sedikit terbuka.
Ding...
Dong...
Ding...
Dong...
Sekujur
tubuhku mendadak merinding. Suara yang berbeda dengan bel dapur itu terdengar.
Kalau tidak salah itu adalah bel dekat kamar mandi, tapi aku juga mendengar
ketukan pisau dapur. Bukan kakakku. Mendekat, bayangan hitamnya semakin
terlihat jelas, begitu juga dengan bajunya. Sekarang, tampak jelas bayangan yang
terpantul dari cermin dapur, itu adalah ibuku.
“Angkat hape ibu, Zel” kata ibuku yang ternyata
sudah pulang dan masak di dapur. Suara itu ternyata adalah bunyi nada panggilan
dari ponsel ibuku.
“Aku pikir
itu bunyi bel di dekat kamar mandi, Bu” kataku langsung memeluk pinggang ibuku.
Jantungku berdetak seperti mau copot. Sungguh, ini benar-benar horor tanpa
hantunya.
***
Pukul 3
sore. Mataku sudah terkantuk-kantuk tak berdaya melihat baris huruf dan angka
dalam bukuku. Sore saja tidak kuat belajar apalagi malam. Jadi memang benar,
aku suka belajar saat sore, bukan malam atau pagi karena tak bisa membuka
kelopak mata.
Tettt....
Tett...
Tet...
Tetttt-tettttt.....
Suara bel
terdengar panjang lalu semakin cepat. Begitu juga dengan mataku yang terbuka
lebar menyadari itu adalah bel belakang rumah!
Aku
bergegas, berjalan mendekat dekat pintu. Lambat, bunyi bel sudah tak terdengar,
kini yang kudengar adalah suara tawa beberapa anak kecil. Siapa? Sekelompok
anak kecil yang berusaha menakut-nakuti anak pindahan sepertiku.
Kubuka
pintu itu cepat, “Hey” kataku sudah berdiri di ambang pintu. Mereka langsung berlari
tunggang-langgang dengan tawa nyaring yang masih bisa kudengar dari kejauhan.
Kututup
pintu itu cepat, sebelum kakakku bergegas bangun dan mendatangiku dengan gelak
tawanya karena berkhayal tentang hantu lagi sejak siang bolong.
Bippp...
Bippp...
Bippp...
Suara bel
kembali terdengar. Untuk kali pertamanya, aku merasa tidak takut. Aku yakin bel
itu berasal dari ruang tamu di dalam sana, satu-satunya bel yang belum
terdengar, bel ke-6.
Aku melihat
bel itu, tak berbunyi sebagaimana tadi belnya memanggilku kemari. Aku yakin itu
karena korsleting atau mungkin kerjaan kakakku.
Aku kembali
melirik kamar kakakku yang terbuka lebar, ia masih tidur di sana. Benar, tak
salah lagi ini pasti korsleting. Aku hendak masuk ke kamar kakakku, tapi suara
aneh di belakangku mulai terdengar.
“DORRRrrr!!!” Teriak kakakku mengagetkan.
“Kaaaakkk....!” Aku menggelitiki kakakku. Lalu kembali ingat dengan kamar kakakku yang terbuka.
Kamarnya yang dihuni sosok perempuan yang tidur terlentang.
“Ribut
melulu, ganggu ibu tidur aja” kata ibuku sudah berdiri di ambang pintu kamar
kakakku. “Belnya sengaja ditulisin biar gak dipencet, eh malah anak sendiri
yang ribut” sambung ibuku kembali membuatku termenung diam, lama.
“Ditulisin
apa Bu?” tanya kakakku duluan.
“Dalam
perbaikan, biar anak tetangga enggak usil mencet... tuh” tunjuk ibuku. “Di teras
sana” kata ibuku sambil lalu, kemudian ibu masuk ke kamarnya sendiri.
“Zel, yang
ibu maksud itu kertas yang aku sobek bukan?” kata kakakku memegangi lehernya,
merasakan hal yang sama sepertiku. Bulu kuduk kami berdiri, sekujur tubuh kami
tiba-tiba terasa dingin, sunyi, dan lagi.
Ting-tong
.......
Ting-tong
.......
Ting-tong
“Zel, ada
yang datang” kata kakakku menunjuk jendela kaca besar. Ia berbicara seolah-olah
ia melihat sesuatu di sana.
“Belnya
bunyi” kataku tak dihiraukannya, dan memang tak ada siapa-siapa di luar sana.
“Bunyi? Dia
masih berdiri di sana, Zel”
by @rnrramadhani
